Buka Layar

Minimnya Inklusivitas Membatasi Orang Mencapai Kesehatan Seksual

Kuatnya heteronormativitas di Indonesia mengaburkan garis batas antara karakteristik seksual (bentuk fisik yang kita miliki), orientasi (kepada siapa kita tertarik), identitas (bagaimana kita melihat diri sendiri), dan ekspresi gender (bagaimana kita menunjukkan diri ke orang lain). Keseluruhan aspek manusia direduksi menjadi hubungan biner heteroseksual antara laki-laki maskulin dan perempuan feminin. Kacamata moral heteronormatif ini membuat sebagian besar manusia yang tidak masuk dalam satu kotak tertentu luput dari pemenuhan hak dasarnya, seperti akses ke kesehatan seksual. Padahal, kesehatan seksual merupakan hak dan kewajiban seluruh individu yang terlibat di dalamnya tanpa memandang orientasi, identitas, maupun ekspresi gendernya. Sayangnya stigma negatif dan marjinalisasi yang sering ditujukan ke kalangan non-hetero memagari persebaran dan keterbukaan informasi yang akhirnya berakibat pada lemahnya kesadaran tentang perilaku seksual berisiko yang dapat menyebarkan penyakit menular seksual.

Perilaku Seksual Berisiko Bisa Dilakukan Siapa Saja
HIV (Human Immunodeficiency Virus), yang penyebarannya difasilitasi oleh pertukaran darah dan cairan tubuh, lekat dikaitkan dengan aktivitas seksual pada Gay. Padahal, faktor utama penyebaran HIV adalah aktivitas seksual tanpa pengaman atau kondom yang bisa dilakukan di antara siapa pun tanpa mengenal orientasi seksual atau identitas gendernya. Minimnya edukasi mengenai perilaku seksual berisiko, terutama dalam institusi pernikahan, berakibat tingginya tingkat penularan HIV pada ibu rumah tangga di tahun 2023. Stigmatisasi dan penghakiman moral atas ragam identitas gender dan orientasi seksual, ditambah dengan tekanan sosial berbasis budaya ketimuran menghasilkan banyak pernikahan ‘semu’ di mana satu atau lebih partisipannya memiliki relasi seksual di luar institusi pernikahan resmi dengan dan/atau tanpa sepengetahuan masing-masing.

Johan (41-B) cukup bertanggung jawab untuk melakukan tes HIV karena beberapa kali bersenggama tanpa pengaman dengan pasangan seksual di luar pernikahannya. Motivasinya untuk melakukan tes adalah menjaga kesehatan istri dan anaknya meskipun ia mengaku merasa enggan untuk mencari tahu lebih dalam mengenai perilaku seksual yang aman dan sehat. Ia memutuskan untuk abai agar tidak merasa cemas dan overthinking tentang kegiatan seksual. Lain halnya dengan Johan, Superstar (34-G) merasa lega ketika tahu bahwa ia dinyatakan negatif meskipun beberapa waktu sebelumnya sempat berhubungan badan dengan pasangan yang baru saja teridentifikasi positif HIV. Meskipun tidak menikah, Superstar dan beberapa kawan Gay lainnya memiliki lebih dari satu pasangan seksual untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untungnya, kedua narasumber memiliki kesadaran dan belakangan sudah memperoleh kemudahan akses untuk melakukan tes HIV dan/atau panel PMS lain di beberapa fasilitas kesehatan. 

Akses Meluas Untuk Kalangan Rentan HIV

Sayangnya, meskipun mulai banyak fasilitas kesehatan yang memberikan layanan bagi komunitas rentan HIV, tidak semua penyedia layanan memberikan pelayanan yang inklusif bagi kawan-kawan non-hetero. Ruang Carlo, sebuah klinik yang digagas oleh dr. Emon Winardi, Sp. PD. bekerjasama dengan Yayasan Kasih Suwitno, resmi didirikan di RS Carolus Jakarta pada tahun 2009 sebagai tempat layanan terpadu untuk pasien HIV. Xavier (30-G) mengapresiasi keberadaan Ruang Carlo yang telah memberikan pengarahan, tes, dan obat secara gratis bagi pasien HIV. Namun demikian, dalam beberapa kunjungan berbeda, Xavier dan Superstar bercerita mengenai tanggapan suster yang kurang empati kepada pasien. Salah satu pasien yang nampak terguncang saat baru menerima diagnosa positif HIV, alih-alih diberikan rasa aman dan ketenangan, malah cenderung ditegur dan dihakimi perilaku seksualnya. Ketiga narasumber, yang berhenti mengunjungi Ruang Carlo beberapa tahun silam, berharap dan setengah percaya bahwa pelayanan saat ini sudah lebih baik dan lebih mengakomodasi teman-teman komunitas queer.

Menghindari pelayanan yang kurang maksimal dari Ruang Carlo, Johan, Superstar, dan Xavier belakangan ini lebih sering mengunjungi Klinik Globalindo. Klinik yang dimiliki oleh Yayasan Kasih Globalindo memberikan pelayanan khusus bagi pasien HIV/AIDS dan PMS di area Setiabudi, Jakarta Selatan. Menurut Xavier, klinik ini merupakan klinik favorit banyak kalangan Gay karena staf dan tenaga medisnya yang ramah dan profesional, proses pengambilan sampel dan tes laboratorium yang bisa dibilang praktis dan cepat, dengan tarif yang cukup terjangkau. Menurut websitenya, klinik Globalindo juga memiliki layanan pickup service dan bisa mengirimkan hasil tes melalui email untuk menjamin privasi dan kerahasiaan pasien. Sebuah nilai lebih bagi kawan-kawan dari kelompok minoritas gender yang sebagian besar masih harus menyembunyikan orientasi seksual maupun identitas gender mereka untuk menghindari penghakiman polisi moral. Meski demikian, banyak di antara kawan-kawan Gay di lingkungan para narasumber yang menolak melakukan tes HIV karena kuatnya stigma negatif terhadap Gay dan ODHIV sendiri.

Akses Masih Terbatas Untuk Kalangan Non-Rentan HIV 

Meski kesadaran akan risiko HIV/AIDS dan PMS mengalami peningkatan sejak tahun 2017 dengan target program pemerintah seperti Indonesia Bebas AIDS 2030, bukan berarti akses kesehatan bagi kawan-kawan LGBTQ sudah lebar terbuka. Minimnya penyedia layanan kesehatan bagi kaum minoritas seksual di luar kota metropolitan dan sempitnya ruang gerak media untuk pemberitaan non-hetero yang dipicu oleh sentimen anti-LGBT, membuat penyebaran informasi kesehatan seksual dan reproduksi cukup terbata-bata. Beberapa akun media sosial berusaha mengisi ketimpangan informasi, namun kurangnya perlindungan privasi dan tingginya potensi diskriminasi membuat kawan-kawan gender diverse harus cukup berhati-hati jika akan mem-follow akun tersebut. Sementara itu, keterbukaan akses layanan kesehatan seksual yang ada saat ini, antara berpusat pada narasi penyebaran HIV yang lebih sering mengikutsertakan Gay, atau menggunakan perspektif biner heteronormatif yang menganggap relasi seksual hanya terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami-istri. 

Akibatnya, kawan-kawan di luar spektrum tersebut tidak memperoleh akses layanan kesehatan yang layak. Hanya karena risiko transmisi HIV pada relasi intim antar-pemilik vagina tergolong minim dan risiko kehamilan pun nihil, bukan berarti kontak seksual yang terjadi pada relasi Lesbian dan Transpria bebas risiko. Meski demikian, S.O. (33-L), Grayson (36-T), dan Ava (33-L) menyebutkan tidak ada kekhawatiran terjangkit PMS dari relasi seksual mereka. Ketiganya cukup memiliki kesadaran untuk menjalin relasi monogami dengan pasangan yang mereka tahu sejarah seksualnya. Sementara bagi Tysia (33-L), tantangan terbesar bagi Lesbian untuk mengakses layanan kesehatan adalah hambatan mental yang subur terbentuk dari stigma budaya ketimuran yang melekat pada perempuan, pandangan amoral akan seks, ditambah kuatnya stigma negatif karena perbedaan orientasi seksual. Ketiga hal ini membuatnya enggan berkunjung ke fasilitas kesehatan jika tidak menyangkut urusan hidup atau mati. Dalam kebutuhan mendesak pun, internet dan media sosial masih dipandang lebih menjanjikan dibanding harus mengambil risiko didiskriminasi dalam proses konsultasi medis.

Kesehatan Perlu Dilihat dari Perspektif Medis, Bukan Moralitas Sosial

Berbagi mengenai pengalamannya berkonsultasi ke ginekologis, Ava mengaku status pernikahannya mempengaruhi tindakan medis yang didapatkan dari dokter. Ginekolog biasanya melakukan USG transvaginal (prosedur medis dengan memasukkan tongkat USG ke dalam vagina) untuk mendiagnosa kista di ovarium. Namun opsi tersebut luput diberikan oleh dokter dengan alasan menjaga keperawanan perempuan yang belum menikah. USG transrektal (tongkat USG dimasukkan melalui anus) menjadi satu-satunya opsi tindakan medis Ava, padahal dirinya sudah aktif secara seksual dan semestinya bisa memilih transvaginal jika ditawarkan. Opsi tindakan medis seharusnya menjadi hak pilih pasien atas rekomendasi dan informasi dari tenaga medis tanpa melihat status pernikahan, identitas gender, maupun orientasi seksual; kecuali jika hal tersebut memiliki pengaruh medis tertentu.

Dalam kesempatan berbeda, Grayson menceritakan keengganannya berinteraksi dengan orang baru, termasuk tenaga medis, yang ditakutkan akan sulit memahami identitas gendernya. Disforia gendernya beberapa kali terpicu ketika harus mencontreng jenis kelamin perempuan pada form medis, untuk kemudian memperoleh respon kurang nyaman dari tenaga medis yang melihat ekspresi gender maskulinnya. Hal ini membatasi ruang geraknya untuk mencari layanan kesehatan. Kriteria pencariannya menjadi perkara keramahan, alih-alih berfokus pada kualitas prosedur medis yang bisa diberikan. Padahal, fasilitas kesehatan yang ramah belum tentu mampu menyediakan kualitas layanan yang dibutuhkan oleh kawan Transpria, Lesbian, maupun teman queer lainnya.

Harapan Bagi Kesehatan Seksual Indonesia

Kurangnya ruang aman yang dialami teman-teman queer untuk sekedar mengakses informasi kesehatan tentu menyebabkan kelelahan mental tersendiri. Manuver komunikasi, seperti S.O. yang menghindari penyebutan pasangan dengan kata berbasis gender tertentu, dirasa perlu dilakukan agar bisa berdiskusi tanpa khawatir didiskriminasi. Bagi teman-teman LGBTQ+, ketidaknyamanan dan penghakiman moral yang sering ditakutkan terjadi saat ini hanya bisa disiasati dengan mencari fasilitas kesehatan yang ramah minoritas atau lewat layanan telemedis.

Sebenarnya, ada satu klinik ramah yang disebutkan oleh sebagian besar narasumber sebagai tempat yang bisa dikunjungi oleh kalangan minoritas seksual yakni Angsa Merah. Klinik ini memiliki spesialisasi pada kesehatan seksual dan reproduksi baik untuk jasmani laki-laki dan perempuan, dengan daerah operasi di Menteng, Fatmawati, Depok, dan Bandung. Klinik Angsa Merah juga sempat terkenal karena mempekerjakan dokter Transpuan pertama di Indonesia, Alegra Wolter, sehingga klinik ini juga memiliki impresi ramah Trans. Namun sayangnya, tarif yang dipatok oleh klinik Angsa Merah menjadikannya kurang inklusif bagi sebagian kawan-kawan komunitas.

Oleh karenanya, untuk memastikan semua individu memperoleh hak untuk sehat secara seksual, perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang signifikan di semua fasilitas kesehatan di Indonesia. Pengetahuan tentang SOGIESC (sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristics) perlu digalakkan agar tenaga medis berhenti menggunakan perspektif biner heteronormatif dalam memberikan akses medis ke individu yang membutuhkan, tanpa memandang orientasi seksual, identitas, maupun ekspresi gendernya. Rumah Sakit, Klinik, maupun fasilitas kesehatan seharusnya tidak perlu ragu mengedepankan informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi sesuai praktik medis yang dilakukan, agar makin banyak orang menjadi sadar pentingnya berperilaku seksual secara sehat.

Qbukatabu sebagai media yang membawa perspektif queer dan feminis berkomitmen untuk memulai keterbukaan akses layanan kesehatan lewat Buka Layanan, layanan konseling ramah minoritas seksual. Kawan-kawan bisa mengakses layanan lewat email maupun WhatApp pada hari Selasa hingga Jumat jam 09.00 serta hari Minggu jam 10.00 hingga 15.00 WIB.

Artikel ini dibuat oleh S.K. Liem

Penulis ialah seorang praktisi teknologi dengan hobi menulis, menonton, dan mengamati tingkah laku manusia dengan segala keunikan dan keragamannya di waktu luang.


*Narasumber ditulis dengan format nama, usia, dan diikuti oleh karakter L, G, B, atau T untuk mengidentifikasi representasi SOGIESC.

Unknown's avatar

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Minimnya Inklusivitas Membatasi Orang Mencapai Kesehatan Seksual

Leave a comment