“Bak pelangi, aku hanya terlihat jika sang candu kuasa membutuhkanku. Bak pelangi, mitos-mitos soal bau busuk dibalik keindahanku, disebar mulut-mulut serakah. Bak pelangi, aku hanyalah pantulan dari matahari yang selalu dianggap bias,”
Bunyi hujan, malam Sabtu menyadarkanku dari lamunanku. Setiap kali melamun, aku kerap kali bertanya pada diriku, sebenarnya kenapa aku selalu dianggap bias? Seolah saat aku menceritakan terkait dengan identitasku, semua orang merasa aneh. Bahkan aku dianggap masih mencari jati diri, ketika aku dengan tegas menjelaskan tentang diriku sendiri.
Aku jadi menalar jauh ke aktivitasku yang sering mendampingi kasus kekerasan seksual. Aku hanya menemukan kekecewaan ketika aku sebagai non-biner harus terus mengaku sebagai perempuan untuk diakomodir perlindungannya sebagai manusia. Aku bahkan tidak sanggup membayangkan, suatu hari nanti ketika menjadi korban kekerasan seksual dan disalahkan karena aku seorang non biner dan panseksual.
Kasus kekerasan seksual yang sejak dahulu sebenarnya telah dijadikan alat politik mengambil alih kekuasaan dari dalam rumah hingga pemerintah. Namun para korbannya kerap kali diabaikan dengan narasi-narasi tak masuk akal. Tulisan ini mungkin akan menimbulkan banyak perdebatan dan kontroversi di tengah orang-orang yang masih percaya sistem pemerintahan hari ini mampu menghapuskan kekerasan seksual.
Hidup di Indonesia memang unik. Pertentangan gender, budaya, agama, ras, dan juga pengaruh dari negara berkuasa tidak pernah usai. Bahkan merasuk hingga kepala-kepala manusia yang menjalankan kebijakan tanpa belajar. Mungkin, masih banyak yang berupaya percaya kepada para wakil perempuan parlemen seolah akan mewakili kepentingan seluruh perempuan dengan berbagai kelas sosial. Nyatanya kebijakan mereka semakin menggerus kesadaran awam terkait dengan peran perempuan.
Aku sejak dulu resah terhadap bagaimana para kawan yang mengaku aktivis mengglorifikasi peran wakil rakyat perempuan. Sedangkan, peran-peran perempuan kelas proletar yang berteriak akibat penindasan yang diterima dan perjuangkan undang-undang sejak lama seolah tidak berguna. Mereformasi terus-menerus sistem pemerintahan kapitalistik hanya menawarkan kebahagiaan semu.
Sebelum pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan, dibentuklah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2022, sebagai hal yang mendesak, akibat banyaknya laporan KS di dalam kampus. Hasilnya, wacana Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) harus dibentuk di setiap universitas. Hal ini muncul secara asal dan terburu-buru. Padahal penanganan kasus kekerasan seksual tak semudah membuat lembaga dan produk hukum.
Akhirnya, universitas-universitas negeri hanya berlindung atas nama pembentukan Satgas PPKS. Bak simbol-simbol yang di cap pada selembar kertas, seolah ruang aman telah tersedia untuk semua orang. Padahal pemahaman serta isi kepala para pelaksana peraturan ini masih sangat seksis dan patriarkal.
Hanya gender biner yang dilindungi, sedangkan kawan LGBTIQ disembunyikan macam aib. Hal ini akibat bicara penghapusan kekerasan seksual “yang penting ada” dan terus mau dinegosiasi. Padahal jika bicara bagaimana kekerasan seksual dapat terjadi pada perempuan, tak bisa dipisahkan bahwa kekerasan juga akan terjadi pada seluruh gender.
Perjuangan separoh-separoh ini dianggap sebagai keberhasilan dan pencapaian. Kadang, boleh jika mau disebutkan, para gender biner ini egois atas posisinya yang diakui oleh sosial. Perjuangan pembebasan LGBTIQ terasa hanya macam pelengkap jika boleh dikatakan seperti itu. Istilah “gender lain” hanya dikiaskan saja tanpa penegasan.
Aku ingin membahas, bagaimana Satgas PPKS di salah satu universitas negeri ikut mendiamkan segala bentuk represi salah pada salah satu Mahasiswa dengan jenis kelamin laki-laki, kita sebut saja AD yang menampilkan ekspresi feminim dan mengakui diri sebagai non biner.
Sekitar Agustus 2023, saat masa ospek penerimaan mahasiswa baru. Panitia ospek memasang lagu Black Pink, girl band asal Korea yang lagi hits saat istirahat dari kegiatan ospek tersebut. Panitia mengajak siapa pun yang berani dance bareng. Dimulai dari beberapa mahasiswa perempuan. Sampai akhirnya, AD berdiri dan mulai menari. Dengan pembawaan yang menyenangkan, AD sukses mencuri perhatian dengan dance yang ciamik. Saat itu, semua mahasiswa terlihat senang dan menyoraki AD yang sangat berbakat dibidang menari itu.
Sangking senangnya, banyak mahasiswa yang turut mengabadikan momen tersebut dan membagikannya via jejaring Tik Tok. Namun sangat disayangkan, kebanyakan masyarakat berkomentar negatif terhadap aksi AD tersebut. Komentar merendahkan, menghina hingga berbagai komentar toxic masculinity.
Banyak sekali yang merasa terganggu dengan bakat yang ditampilkan oleh AD. Tanggapan miring tersebut menjadikan sosial bukan lagi menlihat AD sebagai orang yang berbakat. Namun AD dianggap merusak nama universitas karena harusnya kalau jadi Mahasiswa Baru kudu serius dan memikirkan negara.
Aku rasa, tidak sepenuhnya salah bahwa mahasiswa akan menjadi kaum intelektual yang menelurkan berbagai ilmu pengetahuan. Namun, saat itu AD juga tidak salah, dirinya berbakat menari dan menunjukkan bakatnya. Sejak kapan menari hanya untuk perempuan atau hanya untuk laki-laki? Lagian, AD dapat menjadi apa pun, tugas memikirkan bangsa ya tugas bersama, bukan hanya tugas AD.
Setelah berbagai cacian dan cemooh diterima AD dari media sosial dan lingkungannya, apa yang dilakukan lembaga yang harusnya menjamin ruang aman tersebut?
Salah satu kawan yang tergabung dalam Satgas PPKS, sempat membuat infografis terkait hal tersebut. Namun sayang, dominasi kaum kolot dan haus kuasa juga tidak memahami akar kekerasan seksual terjadi ini menolak untuk melakukan pembelaan pada AD. Ketakutan mereka tak berdasar, harusnya Satgas yang paling memiliki kuasa untuk melindungi siapa pun tanpa memandang gender.
Baik Satgas PPKS dan universitas ketakutan akan ‘dikira’ mendukung LGBTIQ. Konyol. Kaum – kaum terpelajar ini memilih diam bahkan membiarkan diskriminasi itu terjadi. Satgas PPKS telag gagal melindungi warganya dari kekerasan baik verbal ataupun non verbal.
Padahal, se-sederhana mereka mengeluarkan statement bahwa AD juga manusia yang haknya harus terus dibela. Gak sulit dengan seluruh kuasa yang mereka miliki. Cukup bertindak sesuai tupoksi saja sulit banget.
Ketidaktegasan berdampak buruk pada akhirnya. Sulit memang. Namun, bukan berarti tidak bisa jika kita terus bersolidaritas. Kalau dapat dikata, menjadi LGBTQ memang kerap kali diabaikan. AD salah satu contoh suara kelas proletar yang perlu diakomodir.
Belum lagi, hingga hari ini implemetasi UU TPKS tidak pernah dipakai dalam proses peradilan yang dilakukan para aparat tersebut. Kerap kali aku mendengar mereka mengatakan bahwa juknis UU TPKS belum ada dan berarti tidak dapat dipakai.
Jangan sampai pada akhirnya UU TPKS hanya masuk sederet peraturan tak terpakai karena tidak pernah diawasi dalam implementasinya.
Kemarahan-kemarahan ini harus senantiasa dirawat dan diteriakkan dengan lantang saat turun ke jalan atau diskusi kecil bersama kawan-kawan LGBTIQ. Represi terus mengkerdilkan perjuangan kawan-kawan LGBTIQ untuk setara dan meraih haknya sebagai warga negara juga manusia.
Satgas PPKS harus berbenah dan diawasi oleh semua elemen. Jangan macam lembaga tunggal asal sikat dan punya kuasa untuk bertindak. Jika tidak dirawat dengan baik, tak heran hanya sedikit mahasiswa yang berani melapor. Tingkah laku Satgas PPKS yang tak ramah dan justifikasi menjadikannya sama seperti ruang kantor polisi yang sedang merapikan berkas perkara sambil menatap remeh.
Setelahnya, bertanya “Kok bisa kamu jadi LGBTIQ?” atau logika “Jangan-jangan kamu pelakunya yang memaksa, kamu kan LGBTIQ”. Keparat-keparat ini hidup dari berbagai rintihan traumatis para penyintas yang sepanjang hidupnya di diskriminasi.
Bagiku, tak ada bedanya diwakili atau pun tidak di sistem pemerintahan hari ini. Tak ada yang memahamiku dan kawan-kawanku. Kalaupun paham, mereka akan berubah seiring dengan candunya kekuasaan. Bukan kemajuan dunia ini yang salah atau terlalu cepat. Namun kekuasaan yang membuat mereka hanya duduk dan tak mau mengerti bahwa dunia terus berubah.
Artikel ini ditulis oleh Nawal.
Nawal adalah peserta AKSARA (lokAKarya penuliSAn beRsama media Alternatif)

0 comments on “Menalar Bias Pelangi”