Tabumania, mungkin masih banyak sekali rasa penasaran dan pertanyaan yang ada di kepala atau diskusi bersama sirkel tentang poliamori. Ditambah lagi ada istilah open relationship yang juga semakin berkembang di masa kini. Qbukatabu mendapatkan kesempatan untuk mengulik tentang kedua bentuk hubungan tersebut bersama Alvieni Angelica seorang Psikolog Klinis Dewasa dan Reza (bukan nama sebenarnya) yang mengidentifikasikan sebagai gender neutral sekaligus individu yang menjalani hubungan poliamori. Tulisan ini dibuat untuk memahami hubungan poliamori dari sisi psikologi dan pengalaman yang bisa menjadi pengetahuan baru hingga tidak tabu lagi.
Menurut Alvieni Angelica, bahwa poliamori dan open relationship termasuk dalam jenis hubungan non-monogami secara konsensual. Namun, poliamori memungkinkan untuk membentuk hubungan cinta dengan beberapa orang partner. Hal tersebut disertai dengan persetujuan dan sepengetahuan pihak-pihak yang terlibat. Pemahaman tersebut diperkaya lagi oleh Niyatii N Shah (sezuality educator and intimacy coach) yang mengatakan bahwa poliamori adalah sebuah orientasi dan orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai poliamori bisa berasal dari gender apapun, orientasi seksual, usia, atau latar belakang budaya lainnya. Beberapa orang tertarik untuk mengeksplorasi beberapa relasi romantik sementara yang lainnya lebih memprioritaskan keintiman fisik dengan beberapa partner.
Sedangkan open relationship merupakan pasangan yang mempertahankan keintiman emosi di dalam relasi utama dan mengejar tambahan pasangan secara kasual (tanpa komitmen atau ikatan pasti) dan/atau seksual. Kembali menurut Niyatii N Shah, relasi ini mengandung dua makna. Makna pertama mencakup semua relasi yang non-monogami sehingga dalam pemaknaan ini, poliamori pun termasuk dalam kategori open relationship. Makna kedua menunjukkan karakteristik yang dimiliki dalam open relationship sebagai berikut:
- Mengacu pada relasi antara dua orang partner yang berkomitmen di mana baik keduanya maupun salah satu dari mereka mencari koneksi seksual dengan orang lain.
- Koneksi emosi tetap dengan partner utama, sementara relasi dengan partner seksual hanyalah untuk kepuasan atau variasi seksual semata.
- Medianya bisa berupa berbagi pengalaman seksual one-night stands, booty call (komunikasi via telepon ataupun pesan teks untuk mengatur pertemuan melakukan koneksi seksual), friends with benefits, finding a unicorn (menemukan orang ketiga sebagai partner sementara maupun tetap), dan sebagainya yang disetujui oleh kedua partner utama.
- Intimasi romantis tidak diperkenankan.
- Dilakukan sebagai cara untuk meningkatkan energi seksual, keinginan seksual dan ketertarikan dalam relasi.
“Poliamori dan open relationship merupakan kedua jenis hubungan yang memiliki dinamika kepercayaan dan komunikasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan hubungan monogami. Hal tersebut dikarenakan ada keterlibatan lebih dari dua orang di dalamnya. Tiap orang memiliki latar belakang hidup dan genetik yang berbeda sehingga menghasilkan sifat, perspektif pikir, dan ekspektasi yang berbeda juga dalam sebuah relasi.”(Alvieni Angelica, Psikolog Klinis Dewasa)
Dalam relasi poliamori pastinya akan ada dinamika hubungan yang berbeda antara satu partner dengan partner yang lainnya. Dibutuhkan komunikasi yang setara, kepercayaan dan hormat sebagaimana dalam relasi monogami sehingga tidak menimbulkan rasa iri serta hal yang memicu konflik. Hanya saja dalam relasi poliamori semuanya menjadi lebih kompleks terutama dalam mengatur boundaries dengan toleransi berbeda pada setiap orang, manajemen ekspektasi dan bernegosiasi tentang janji serta kejujuran untuk membagi-bagi perasaan dan pikiran. Dengan demikian orang-orang yang terlibat di dalamnya merasa adanya kesetaraan.
Sedangkan open relationship memerlukan komunikasi yang kuat di antara dua orang yang menjadi pasangan utama. Mereka perlu untuk menceritakan dengan jujur apa yang menjadi pikiran, keinginan dan pertimbangan mereka secara apa adanya. Masing-masing individu yang disebut pasangan utama memegang komitmen untuk tidak melanggar boundaries yang sudah ditetapkan terkait interaksi dengan pihak ketiga yang masuk dalam relasi mereka. Bahkan ketika keterlibatan pihak ketiga ini sampai mengubah chemistry ataupun rasa yang dimiliki oleh salah satu orang yang menjadi bagian dari pasangan utama. Monogami juga membutuhkan komunikasi yang kuat namun tidak sekompleks poliamori karena hanya ada dua orang yang terlibat di dalamnya. Kepercayaan relatif, bisa lebih mudah karena satu orang partner saja yang terlibat sejauh partner tersebut memang memegang komitmen namun bisa menjadi lebih sulit dibandingkan open relationship karena dalam open relationship fantasi dan sisi yang lebih dalam dan luas dari tiap partner tampak lebih terbuka. Sedangkan dalam relasi monogami sisi ini bisa saja tidak pernah diketahui sehingga menyisakan ruang misteri bagi partner yang terlibat dan mungkin menimbulkan ruang untuk mencurigai partner terutama bila individu yang terlibat di dalamnya sangat overthinking. Penyesuaian terhadap pola relasi lebih sederhana untuk diperhatikan dan disesuaikan.
Selain mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan perspektif tentang poliamori dan open relationship bersama ekspertise, Qbukatabu (Q) juga berkesempatan berbincang dengan Reza (RZ), seorang gender neutral yang berkomitmen untuk melakukan hubungan poliamori bersama pasangannya.
Qbukatabu (Q): Bagaimana kamu memaknai hubunganmu bersama pasangan saat ini?
Reza (RZ): Aku dan partner saat ini berkomitmen satu sama lain tapi di dalam komitmen itu masih menegakkan hak-hak sebagai individu untuk mengeksplor diri masing-masing dalam berbagai macam hal. Termasuk di dalamnya juga misalnya mau mengeksplorasi ada perasaan-perasaan timbul sama orang lain. Jadi tidak menutup hal itu. Cuma dari awal, aku sama dia memang tidak pernah, tidak ingin melabelkan hubungan ini sebagai apa, entah itu pacaran atau apa. Intinya kami berdua berkomitmen satu sama lain untuk berada di dalam hubungan ini yang sifatnya mungkin kalau dengan kata yang lebih umum poliamori.
Q: Apa yang mendorong kalian untuk dalam hubungan poliamori?
RZ: Sebenarnya awalnya aku doang, karena pada suatu waktu di hidupku bahwa aku sadar bisa memiliki perasaan pada 2 orang yang berbeda. Ternyata perasaan itu bisa mungkin lebih dari 2 orang. Sebenarnya, di awal-awal hubungan kami itu aku bilang soal itu ke partner sekarang bahwa in the past aku berpengalaman bisa mencintai lebih dari 1 orang. Aku bilang sama dia seperti itu, dan itu tidak menutup kemungkinan di masa depan akan terjadi lagi. Aku mau hubungan ini terbuka, seperti halnya memiliki perasaan dan attraction ke orang lain selama ada keterbukaan dan kesepakatan sampai sejauh apa dia mau dengar atau aku mau dengar tentang ceritanya. Jadi, awalnya yang discover bahwa aku yang mampu melakukan itu. Pada saat itu pasangan aku yang hingga saat ini juga tidak mempermasalahkan. So, let’s do it.
Q: Kalau boleh dieksplorasi, gimana sih kamu menetapkan batas-batas, aturan, dan ekspektasi dalam sebuah hubungan kalian saat ini?
RZ: Sebenarnya itu dynamic ya. Penting kalau batas, aturan, dan ekspektasi. Aturannya terbuka satu sama lain, kami berdua tahu kapan harus bicara soal perasaan masing-masing dan perasaan sama orang lain ataupun ketertarikan sama orang lain. Lalu jujur dengan perasaan itu. “Oh, ini tertarik saja”, “oh, ini akan mengarah ke hal seksual”, atau “oh, ini akan mengarah ke hubungan selanjutnya yang tidak hanya PDKT saja tapi emang ingin berkomitmen juga sama orang lain”. Itu juga aturannya jujur dan terbuka. Lalu, di dalam hubungan ini kami selalu menegosiasikan banyak hal, tahu boundaries masing-masing, jadi itu sifatnya dinamis di masing-masing orang. Misalnya aku menggunakan kata primary dan secondary untuk mempermudah identifikasi pasangan-pasanganku dan digunakan dalam polyamorous relationship. Misalkan primary aku adalah partner yang hingga sekarang, kemudian aku punya secondary yang misalnya si A, lalu aku cerita kepada primary bahwa aku dekat dengan si A. Primary aku berhak memiliki views dan feelings terhadap A, misalnya ia tertarik dengan A ya silakan, atau sebaliknya. Maka partner primary-ku nanti akan menginformasikan batasannya sejauh mana ia mau tahu hubungan aku dengan A. Pada cerita lain misalnya, aku memiliki hubungan dengan si B tapi partner primary-ku tidak suka dengan A tapi menyukai si B, jadi dia mau tahu hal-hal yang terjadi antara hubunganku dengan B. Tentu saja semua itu dengan konsensual ketika aku bercerita tentang primary-ku ke A dan B, dan begitu sebaliknya. Ekspektasinya dalam hubungan ini kami tetap bisa terbuka dan jujur. Aku merasa nyaman dalam hubungan bersama si primary ini karena aku bisa berkembang secara individu begitu juga dengan dia. Ekspektasinya tidak ada yang sampai membuat hal-hal tidak bisa diceritakan.
Q: Bagaimana kamu mengelola perasaan tidak aman yang mungkin muncul dalam hubungan poliamori saat ini?
RZ: Paling penting yang kami pelajari itu adalah komunikasi yang baik termasuk dengan cara bicara terkait satu hal, karena yang kami pelajari adalah cara bicara terkait satu hal itu bisa macam-macam. Terutama dalam hal konteks ini, misalnya hubungan dengan orang lain, kami berdua harus bisa bicara dengan pasangan dengan tone yang enak, dengan situasinya yang mendukung, jadi tujuannya tidak memojokkan, bukan membuat cemburu, atau menjatuhkan satu sama lain. Bagaimana situasinya tetap membangun dengan tujuan yang kembali pada prinsip dasar terbuka dan jujur. Supaya itu tetap muncul.
Pernyataan RZ didukung oleh pernyataan dari Alvieni Angelica bahwa strategi psikologis yang efektif untuk mengelola perasaan dalam hubungan poliamori ialah memanfaatkan waktu untuk melakukan komunikasi yang berkualitas antara orang-orang yang terlibat, mengenal dengan baik latar belakang setiap individu sehingga mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang pasangan.
Q: Bagaimana kamu merencanakan dan memprioritaskan waktu, perhatian, dan komitmen kamu di antara pasangan-pasanganmu?
RZ: Kalau tadi konsepnya ada primary dan secondary, masing-masing orang memiliki hak yang sama untuk tahu posisi mereka itu di mana dalam kehidupan aku dan pasangan aku. Kami berdua sepakat untuk jadi primary berarti itu yang diprioritaskan. Pun jika ada pasangan secondary di antara kami maka dia juga harus tahu bahwa dia adalah secondary yang mana bukan berarti I like you less. Jadi masing-masing tahu tempatnya, porsinya, waktunya.
Q: Di Indonesia masih tabu tentang hubungan poliamori, sehingga banyak pergulatan cara pikir. Bahkan ada yang berpendapat bahwa poliamori menjadi sebuah alasan untuk berselingkuh. Bagaimana kamu menangani tanggapan sosial terhadap hubungan poliamori?
RZ: Sebenarnya tidak apa-apa untuk semua orang punya pandangan seperti itu, tapi sebenarnya kalau yang aku pelajari seperti manusia itu tidak terlahir monogamous, maksudnya monogamous dan menjadi poliamorous itu ada sejarahnya. Sejarah itu membentuk konstruksi secara kultur dan sosial di dalamnya. Itu terjadi pada semua hubungan heteronormatif dan semua jenis hubungan itu ada sejarahnya. Jadi, kalau aku tidak apa-apa, mungkin akan lebih susah terbuka soal hubungan poliamori ke orang lain, tapi aku juga bukan tipe yang menggembar-gemborkan ke orang lain. Jadi, ya tidak apa-apa kalau society punya pendapat, apalagi di Indonesia ada polemik poligami sehingga misalnya orang awam bicara poliamori langsung disamakan dengan poligami. Kemudian poligami di mayoritas di Indonesia adalah sebuah hubungan yang buruk. Jadi, memang sulit untuk menjelaskan ke orang-orang banyak tapi yang terpenting orang-orang signifikan dalam hidup untuk mengetahuinya. Jikalau ada yang berkomentar baru bisa ditanggapi.
Psikolog Alvieni Angelica juga mengatakan bahwa untuk merespon ekspektasi sosial dan norma-norma budaya yang masih tabu terkait hubungan poliamori ini, terutama di Indonesia ialah kembali kepada diri individu masing-masing. Bagaimana seseorang secara pribadi menekankan kepercayaan yang mengakar saat memilih untuk berkomunitas dengan segala bentuk relasi. Semakin kuat seseorang memiliki standpoint yang lahir dari kejernihan diri, maka akan menjadikan individu tersebut tetap percaya diri untuk menjalankan apapun yang menjadi pilihannya dan dapat menjawab pertanyaan yang muncul dari orang-orang sekitarnya.
Q: Apa yang kamu temukan sebagai tantangan terbesar dalam menjalani hubungan poliamori?
RZ: Ohiya tentu! Jadi seperti yang sudah aku cerita juga bahwa awalnya yang mengusung konsep ini di dalam hubungan ini adalah aku. Lalu aku punya pasangan yang bisa beradaptasi dan menghargai prinsip itu. Tantangannya kecemburuan, time management, energy management, feelings management itu tantangan.
Q: Dan kamu mengatasinya dengan keterbukaan komunikasi?
RZ: Iya, karena dasar dalam berhubungan adalah komunikasi. Aku tidak bisa kepikiran hal lain lagi yang bisa dijadikan alat sebagai mengatasi masalah-masalah tadi. Kalau komunikasinya tidak lancar ya tidak akan bisa.
Q: Bagaimana kamu mengevaluasi kualitas dan keberhasilan hubungan poliamori yang saat ini kamu lakukan? Apa yang menjadi faktor penentu dalam menentukan keberhasilan tersebut?
RZ: Sebenarnya aku tidak pernah memikirkan ini, jadi go with the flow saja. Namun ada pencapaian-pencapaian personal yang bisa aku refleksikan, karena ini wawancaranya aku sendiri jadi tidak bisa bicara tentang berdua bersama pasangan aku. Namun, dari sisi personal dari aku mengusung konsep itu hingga titik ini, bertahun-tahun dengan konsep ini.
“Aku pernah berada di dalam hubungan monogami dan sekarang dengan versi yang lebih terbuka (poliamori). Aku membandingkan kedua hal tersebut, dan sekarang lebih nyaman, tidak mengemban beban seperti kata-kata selingkuh yang ada di hubungan heteronormatif yang dikonstruksi secara sosial. Pencapaian aku juga berhasil tumbuh, tidak merasa terkekang, merasa tidak terbebani, dan aku juga bisa melihat dunia luar dari berbagai macam perspektif, jadi lebih kritis tentang hubungan-hubungan lainnya termasuk monogamous. Keberhasilannya aku juga bisa memberikan advice untuk orang lain berdasarkan apa yang aku alami. Namun bukan berarti mengajak orang lain untuk mengubah konsep hubungannya menjadi poliamori.”
(Reza, Gender Neutral)
Dalam sudut pandang psikologi, melihat individu-individu yang berkomitmen dalam hubungan poliamori yang mana masih dianggap tabu di Indonesia, maka yang bisa dilakukan adalah bukan hanya melihat individu itu dengan relasinya saja, tetapi juga melihat dari aktivitas apa yang dijalankan, apa manfaat yang diberikan melalui karyanya kepada lingkungan sosial, dan bagaimana individu tersebut dalam berelasi sosial. Terpenting lagi ialah tidak melemparkan judgement karena semua orang punya alasan atas pilihan yang dilakukan. Walaupun tidak mudah, karena pasti akan ada orang-orang di dalam komunitas yang menentang baik secara pasif maupun agresif. Orang-orang tersebut yang akan memberikan pengaruh dalam dinamika kelompok sosial di mana akan akan ada orang-orang yang menjauh. Namun bukankah akhirnya kita akan menarik orang-orang yang memang se-frekuensi dengan kita dan setiap pertentangan yang ada apabila dilihat lebih dalam sekadar menggaungkan pertanyaan lebih lanjut ke dalam diri orang-orang yang terlibat dalam pilihan relasi tersebut? Apakah individu tersebut cukup memiliki standpoint atas pilihannya dan sejauh mana pilihan tersebut merupakan jawaban dari pencariannya bukan sekadar pelarian atau pencarian kepuasan fisik semata?
Segala bentuk hubungan yang saat ini berkembang, terutama poliamori yang menjadi wacana menarik dalam medan hubungan manusia. Relasi tersebut menawarkan alternatif terhadap konvensi monogami tradisional, menantang untuk memperluas pemahaman akan cinta, komitmen, dan keintiman. Namun, di balik kebebasan dan eksplorasi, terdapat kompleksitas yang memerlukan komunikasi yang jujur, kepercayaan yang kuat, dan pengelolaan emosi yang cermat. Selain itu, stigma sosial dan ketidak pengertian masyarakat sering menjadi tantangan tambahan bagi individu-individu yang memiliki untuk melakukan relasi poliamori. Namun demikian, dengan pemahaman yang matang, kesepakatan yang jelas, dan komitmen yang kokoh, poliamori dapat menjadi sarana yang memuaskan dan bermakna untuk eksplorasi dan koneksi di dunia yang terus berubah ini. Individu-individu yang menjalankannya memperlihatkan bahwa jalan menuju kebahagiaan tidak selalu lurus, namun, dengan integritas dan penghargaan terhadap kebebasan dan kebutuhan masing-masing individu, poliamori dapat menjadi pilihan hidup yang berarti bagi banyak orang.
Penulis: Ayunita Xiao Wei, akrab disapa Ayun (They/She). Seorang lulusan Master Seni Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2023). Ayun bergabung di Rumah Seni dan Budaya Feminis (Qbukatabu) dalam Unit Pengelolaan Pengetahuan sejak 2020. Karyanya dapat dilihat di artisanjuice.my.id.

0 comments on “Biar Gak Asing Lagi: Poliamori”