Buka Layar

Pendidikan untuk Semua, tidak Mengenal Identitasnya

Tabumania, apabila kita mencermati kembali Undang Undang Dasar (UUD) pasal 31 ayat 1 yang berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan’, hal ini berarti mengamanatkan bahwa memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Menitik beratkan pula pada kata ‘setiap’ yang mana bisa dipahami bahwa tidak ada satu pun warga negara yang tidak memperoleh pendidikan yang layak. Artinya siapapun tanpa memandang identitasnya baik suku, agama, ras, golongan, bahkan gender maupun orientasi seksual bahwa pendidikan adalah hak warga negara tanpa kecuali. Namun, pada praktiknya, apakah demikian?

Sayangnya, masih jauh dari angan. Hal ini bisa kita lihat munculnya aksi-aksi diskriminasi terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas untuk mengakses pendidikan. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut setidaknya dalam beberapa tahun terakhir terjadi. Misalnya pada 2015 adanya wacana pemberhentian staf dan mahasiswa yang terlibat Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT). Hal ini terjadi ketika ramai pembicaraan terkait rencana penyelenggaraan seminar tentang LGBT di sebuah kampus (tribunnews.com/2015), lalu adanya demo terhadap mahasiswa LGBT yang didukung kampus. Hal tersebut terjadi saat sebuah BEM sebuah kampus menggelar deklarasi penolakan LGBT pada peringatan hari perempuan internasional (riaubook.com/2016), ada pula kasus sebuah diskusi tentang kampus dan LGBT di sebuah kampus di Bandung batal dilaksanakan (rappler.com/2016), kemudian adanya pembubaran diskusi akademik di sebuah kampus yang mengangkat tema berkaitan dengan hak komunitas LGBT. Saat itu ada rencana penyelenggaraan webinar untuk mengenal transgender batal terjadi (theconversation.com/2021). Lalu belum lama ini munculnya sebuah edaran anti LGBT di sebuah kampus di Jogja. Surat edaran tersebut menyebutkan mengenai penolakan maupun pelarangan terkait aktivitas dan penyebarluasan LGBT (bbc.com/2023).

Tentu saja aksi-aksi tersebut sangat disayangkan. Bisa dikatakan apa yang terjadi tersebut bagian dari diskriminasi gender. Selain itu apabila surat edaran tersebut dijalankan, bisa membuka kemungkinan meningkatnya kekerasan terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas. Padahal melalui institusi pendidikan justru bisa menjadi peluang untuk berdiskusi untuk membangun perhatian (awareness) mengenai isu-isu minoritas termasuk isu-isu berkaitan dengan LGBT maupun pencegahan kekerasan. Apalagi komunitas LGBT termasuk kelompok rentan yang mengalami diskriminasi maupun kekerasan. Adanya diskriminasi tersebut juga bisa memunculkan atau meningkatkan ujaran kebencian terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas.  Sehingga sangat penting dilakukan diskusi yang bisa diikuti semua kalangan apalagi dari institusi pendidikan. Diskusi tidak hanya bisa membangun awareness, tetapi bisa juga menjadi jembatan pengetahuan bagi siapa saja yang belum mengetahui tentang isu-isu minoritas gender dan seksualitas. Melalui diskusi bisa membuka peluang untuk meningkatkan empati terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. 

Bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi tersebut juga memperlihatkan sulitnya komunitas LBGT memperoleh pendidikan sebagai hak dasar mereka. Bahkan aktivitas diskusi terkait LGBT pun sangat sulit dilakukan, dengan berbagai alasan tanpa alasan yang jelas hingga dihentikan. Institusi pendidikan seharusnya bisa menjadi ruang non diskriminasi bagi siapa saja, apalagi bagi kelompok-kelompok rentan. Selain itu institusi pendidikan seharusnya terbuka terhadap ilmu pengetahuan yang mengakui keragaman seksual dan gender. 

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa pendidikan merupakan hak dasar warga negara. Melalui pendidikan bisa memengaruhi peningkatan kualitas hidup seseorang terutama di lini ekonomi. Harapannya melalui pendidikan bisa menjadi sarana untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Karena hingga saat ini mayoritas pekerjaan masih mempertimbangkan “selembar” ijazah sebagai prasyarat untuk melamar kerja. Padahal untuk memperolehnya, memerlukan akses pendidikan yang layak dan berkualitas. 

Mengutip dari Tirto.id (2022) apabila ditelaah, masalah diskriminasi pendidikan terhadap minoritas gender dan seksualitas terjadi karena bermula dari sistem sosial yang pincang dalam memandang perbedaan gender. Lebih lanjut Tirto.id menyebutkan bahwa tidak ada edukasi seksual dan reproduksi di lingkungan akademis. Bahkan ketika Kemendikbud membuat modul nasional pendidikan kesehatan reproduksi (kespro), mereka tidak memasukkan bab spektrum gender. 

Seharusnya tidak boleh terjadi diskriminasi pendidikan terhadap kelompok manapun termasuk kelompok ragam gender dan seksualitas. Bahkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2 menyebutkan tentang hak warga negara untuk mendapatkan pembiayaan pendidikan dasar. Ini berarti pemerintah memiliki kewajiban untuk membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga negara Indonesia. Selain itu hal ini bisa dipahami juga apabila seseorang memperoleh beasiswa maka hak tersebut tidak boleh batal karena alasan gender. Setiap peserta didik memiliki kesempatan untuk belajar. 

Tabumania, pendidikan itu seharusnya untuk semua tanpa terkecuali. Sudah seharusnya setiap warga negara terpenuhi haknya untuk memperoleh layanan pendidikan. Baik pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan membuka kesempatan lebih luas untuk mengenal dunia. Pendidikan tidak hanya sekadar memperoleh ijazah. Namun, juga menjadi ruang untuk bersosialisasi, membangun jaringan, mengembangkan aktivitas, mengenal perbedaan, meningkatkan empati, dan harapannya bisa meminimalisir diskriminasi terhadap kelompok minoritas apapun termasuk kelompok ragam gender dan seksualitas. Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang perlu dilakukan pemerintah agar hal ini bisa terwujud. Setiap orang bisa juga memberikan ruang-ruang aman bagi komunitas ragam gender dan seksualitas untuk berdiskusi maupun memperoleh ruang untuk belajar atau memperoleh pendidikan.

Kalau menurut Tabumania, apa yang perlu dilakukan agar diskriminasi pendidikan tidak terjadi? 

0 comments on “Pendidikan untuk Semua, tidak Mengenal Identitasnya

Leave a comment