Tabumania, sudah 19 tahun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) diusulkan, tetapi tidak kunjung disahkan. Perkembangan terbaru dari advokasi RUU ini yaitu RUU tersebut masih ditahan pimpinan DPR. Padahal pemerintah telah membuat Daftar Inventaris Masalah (DIM). Selain itu konsinyering juga telah dilakukan dengan mengundang pihak Non-Governmental Organization (NGO), pihak PRT, maupun pihak pemberi kerja untuk mendapatkan masukan. RUU tersebut sudah diserahkan ke pimpinan DPR, tetapi belum ditindaklanjuti.
Hal ini disampaikan Ari Ujianto dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) ketika menjelaskan perkembangan advokasi RUU PPRT melalui wawancara telepon oleh Redaksi Qbukatabu.org beberapa waktu lalu. Ari menuturkan ia juga kurang mengetahui alasan maupun kendala mengapa RUU ini tidak kunjung disahkan. Pemerintah juga telah membentuk gugus tugas percepatan RUU PPRT. Meskipun demikian, periode 2019-2024 inilah perkembangan paling maju dalam memperjuangkan RUU PPRT. “Setiap periode (pemerintahan) selalu mengajukan (RUU) menjadi program legislasi nasional (Prolegnas). Dalam setiap pengajuan ada yang masuk waiting list, ada yang masuk tapi tidak dibahas. Nah, perkembangan advokasi RUU PRT paling maju ya periode 2019-2024, karena di Baleg (Badan Legislasi) DPR sudah selesai menjadi RUU inisiatif DPR, pemerintah juga sudah selesai membentuk DIM. Masalahnya tinggal di pimpinan DPR, kalau pimpinan DPR segera menyerahkan ke Panja Baleg kemungkinan seminggu selesai (kemungkinan RUU disahkan). Padahal kalau RUU itu selesai tentu akan menjadi nilai positif bagi DPR.” tegasnya.
Meskipun jalan terjal di depan mata, tetapi perjuangan Jala PRT mengawal agar RUU PPRT segera disahkan terus berjalan. Apalagi musim pemilu 2024 telah tiba. Setiap partai politik lebih fokus pada kegiatan tersebut. Hal inilah yang terjadi pada upaya yang dilakukan untuk mendekati partai-partai politik menurut pengakuan Ari saat ini cukup sulit. Itulah mengapa, untuk saat ini kampanye yang dilakukan Jala PRT dengan melakukan aksi membentangkan spanduk setiap hari di depan Gedung DPR. “Aksi tersebut tidak dilakukan banyak orang, tetapi dilakukan setiap hari lalu difoto dan disebarkan melalui media sosial. Aksi harian dilakukan agar ingatan publik terhadap RUU PPRT tidak hilang, tidak lupa.”jelas Ari. Jala PRT dibentuk pada 2004 dengan mandat utamanya untuk memperjuangkan RUU PPRT. Ini sudah berjalan hampir 20 tahun.
Apabila RUU PPRT ini disahkan secara sosial akan membuat para PRT diakui sebagai pekerja karena itulah yang pertama diatur dalam RUU tersebut yaitu tentang pengakuan. Menurut Ari selama ini masyarakat menyebut PRT sebagai pembantu, jongos, babu dan tidak menganggap mereka sebagai pekerja. Ketika nantinya sudah tertempel nama pekerja di profesi mereka implikasinya mereka akan memperoleh hak-hak pekerja, misalnya ada gaji yang layak, ada hak untuk cuti, cuti haid, melahirkan, hak beribadah, dll. Kesejahteraan PRT pun harapannya bisa lebih terjamin karena di RUU tersebut mengatur tentang gaji manusiawi yang disepakati antara PRT dan pemberi kerja atau majikan, ada jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan sosial kesehatan, pendidikan pelatihan bagi PRT, maupun hak untuk berorganisasi. “Kalau hak-hak yang lain misalnya jam kerja ini tentu berbeda dengan pekerja kantoran. Justru yang paling penting itu jam istirahat PRT harus jelas.”kata Ari.
Ari berharap, RUU PPRT ini bisa memberikan perlindungan bagi PRT meskipun belum ideal. Apalagi PRT selama ini tidak sedikit yang mengalami kekerasan maupun pelanggaran HAM. Itulah mengapa rumah tangga yang merekrut PRT harus melaporkan ke aparat lokal atau pemerintah setempat seperti RT, RW bahwa mereka mempekerjakan PRT. “Dengan begitu akan ada pengawasan.”jelasnya. Menurut Ari, selama ini tindak kekerasan yang terjadi terhadap PRT salah satunya karena orang-orang di sekitar tidak mengetahui ada PRT atau PRT tersebut tidak bisa berkomunikasi dengan pihak luar.
Kasus lain yang sering dialami PRT adalah ditahannya gaji mereka. Ari menegaskan dari segi nilai-nilai apapun termasuk nilai agama tidak memperbolehkan hal tersebut. Itulah mengapa diperlukan kontrak kerja secara tertulis. “Jadi semua ada konsekuensinya. Kalau PRT melanggar konsekuensinya apa, kalau majikan atau pemberi kerja melanggar konsekuensinya apa. Apalagi PRT yang melalui penyalur, harus jelas hak dan kewajibannya.” urainya.
Apabila Tabumania ingin mendukung kampanye seperti yang dilakukan Jala PRT, Ari mengatakan bisa melakukan hal paling ringan sekalipun, misalnya mendukung kampanye yang dilakukan Jala PRT di media sosial. “Bisa dengan nge-like, share tentang kampanye RUU PPRT di media sosial.”katanya. Selama ini banyak PT yang mengadakan diskusi mengenai RUU PPRT, ada pula riset, skripsi maupun tugas. Ari mengaku sering melakukan wawancara yang dilakukan para mahasiswa. Menurutnya dengan semakin besar tekanan publik akan membuka peluang disahkannya RUU PPRT ini. Apalagi banyak organisasi keagamaan yang mendukung, mulai dari NU, Muhammadiyah, Walubi, KWI, PGI, Konghucu, maupun aliran kepercayaan.
Ari kembali menegaskan harapannya sebelum hiruk pikuk pilpres masih ada waktu bagi DPR untuk mengesahkan RUU PPRT. Kalaupun belum juga disahkan, dalam periode ke depan, akan terus diperjuangkan. “Kita tahu ada peran negara, ada peran masyarakat. Kalau secara politik macet, ya secara kultural harus jalan. PRT harus diperlakukan secara manusiawi. Diberikan gaji yang layak, kalau menginap ya diberi kamar yang layak, ada jaminan sosial. Kalau ada kesadaran itu ada di setiap individu tentu akan lebih baik. Lebih mudah RUU itu untuk disahkan dan lebih mudah dijalaninya. Itu yang perlu dikampanyekan terus. Jala PRT tidak akan berhenti mengawal advokasi RUU PPRT. Seluruh upaya untuk memperlakukan PRT secara manusiawi harus dilakukan salah satunya melalui RUU PPRT.” pungkasnya.
Gimana Tabumania? Yuk kawal terus biar RUU PPRT segera disahkan!

0 comments on “Jalan Terjal Jala PRT Mengawal RUU PPRT”