Judul: Spiritualitas Waria: Perjuangan Menemukan Identitas Gender&Makna Hidup
Penulis: Masthuriyah Sa’dan
Penerbit: SUKA Press
Tahun terbit: 2022
Tebal: xxvi+202 hlm
Tabumania, setiap orang memiliki kisah masing-masing dalam menemukan identitas gender dan makna hidup. Termasuk kawan-kawan kita, transpuan. Seorang penulis dan peneliti Masthuriyah Sa’dan mencatat perjalanan hidup kawan-kawan transpuan dalam bukunya “Spiritualitas Waria: Perjuangan Menemukan Identitas Gender&Makna Hidup”. Ia mencatat kisah 10 transpuan, mulai dari kisahnya dengan latar belakang keluarga masing-masing hingga kisah perjalanan spiritualitas mereka.
Dalam buku tersebut penulis lebih banyak menggunakan istilah waria dibandingkan transpuan. Ia menulis, ia menggunakan kata waria dan tidak menggunakan transpuan yang menunjuk kepada seorang dengan identitas gender sebagai transgender. Menurutnya, publik lebih mengenal sebutan waria daripada transpuan. Sementara itu orang-orang transgender ada yang memilih disebut waria dan ada yang memilih transpuan. Pemilihan waria atau transpuan dikembalikan kepada masing-masing personal transgender itu sendiri. Mereka sendiri yang tahu tubuh dan identitasnya, bukan orang lain (hlm. 2). Dalam artikel ini, saya akan lebih banyak menggunakan istilah transpuan.
Kisah-kisah transpuan yang hadir seringkali tidak adil, menyudutkan mereka, hanya membicarakan sisi negatif dan minim membicarakan prestasi mereka. Penulis buku ini menghadirkan kisah mereka berdasarkan penuturan mereka melalui wawancara mendalam, sehingga kisah yang hadir dalam 9 bab ini benar-benar berasal dari kawan-kawan transpuan.
Masthuriyah Sa’dan mengawali kisah di bab I dengan cerita latar belakang keluarga kawan-kawan transpuan yang menjadi narasumber buku ini. Penulis menuturkan latar belakang keluarga penting (untuk dikisahkan) karena akan memengaruhi kehidupan transpuan di usia anak-anak, dewasa, tua dan meninggal dunia (hlm. 2). 10 transpuan yang menjadi narasumber buku ini memiliki kisah yang berbeda-beda. Ada yang lahir dari keluarga dokter, di keluarga pesantren, dari keluarga bangsawan, ada yang ditinggal orangtua, ada yang lahir dari keluarga beda agama, ada yang anak buruh tani, dari keluarga tuan tanah, latar belakang keluarga Islam & kejawen, anak buruh cuci, dan ada yang seorang anak yatim (hlm. 3-12)
Latar belakang keluarga inilah yang juga memengaruhi pendidikan maupun peranan keluarga terhadap kawan-kawan transpuan. Hal ini dibahas pada bab II. Keluarga memiliki peran penting dalam pendidikan dan penerimaan diri kawan-kawan transpuan. Pengalaman kawan-kawan transpuan yang memperoleh penolakan dari keluarga berbeda dengan kawan-kawan transpuan yang memperoleh penerimaan dan kasih sayang dari keluarga (hlm. 13). Di bab II ini juga dikisahkan latar belakang pendidikan kawan-kawan transpuan yang menjadi narasumber buku ini. Mereka memiliki tingkat pendidikan yang beragam, ada yang sampai kuliah di Milan, ada yang di pesantren, ada pula yang hanya lulus SD (hlm. 13- 33). Di bab ini juga dikisahkan berbagai pengalaman kawan-kawan transpuan yang mengalami kekerasan selama sekolah maupun penerimaan dan penolakan yang mereka terima dari keluarganya karena mereka seorang transpuan.
Selanjutnya di bab III menceritakan perjuangan menemukan identitas gender yang dialami kawan-kawan transpuan. Penulis menyebutkan hidup sebagai seorang transpuan tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena keluarga, masyarakat, agamawan, hingga aparat negara umumnya menuntut setiap orang hidup dengan identitas yang sudah ditentukan dan tidak memberi ruang bagi yang beridentitas abu-abu (hlm. 34). Persoalan semakin rumit ketika keluarga menolak mereka. Hal ini membuat kawan-kawan transpuan lari dari rumah lalu hidup di jalanan, mengamen, atau menjadi pekerja seks. Lebih rumit lagi karena lari dari rumah tidak membawa identitas apapun, membuat mereka kesulitan mengakses kesehatan maupun jaminan sosial. Di bab ini juga dikisahkan pengalaman kawan-kawan transpuan yang melakukan terapi hormon, belajar merawat diri, hingga ada yang melakukan operasi.
Nah, di bab IV, penulis menceritakan tentang perjuangan kawan-kawan transpuan dalam kerja-kerja mereka. Dari 10 transpuan yang dikisahkan dalam buku ini, tidak semua mengawali pekerjaan sebagai pekerja seks. Ada yang bekerja sebagai perias, penari, desainer fashion, dan tukang potong rambut. Setiap pekerjaan yang dilakukan memberikan pengalaman dan makna tersendiri. Selain menceritakan pengalaman kerja, di bab ini juga menceritakan perjuangan kawan-kawan transpuan yang berhenti sebagai pekerja seks dan mencoba melakukan pekerjaan lain.
Berbagai hal dialami kawan-kawan transpuan, termasuk tentang hubungannya dengan Tuhan. Di bab V, penulis mengungkapkan stigma masyarakat bahwa transpuan identik dengan dosa, neraka, melanggar kodrat, dan jauh dari Allah membuat kehidupan transpuan makin sulit (hlm.98). Di bab ini, penulis juga menceritakan peranan Pesantren Waria Al-Fatah di Kotagede, Yogyakarta menjadi ruang untuk mengembangkan spiritualitas bagi kawan-kawan transpuan. Di pesantren ini kawan-kawan transpuan bisa mengikuti kegiatan keagamaan yang diadakan. Pesantren ini juga memfasilitasi kegiatan keagamaan bagi kawan-kawan transpuan yang tidak beragama Islam. Melalui pesantren tersebut, kawan-kawan transpuan memiliki pengalaman berbeda dalam mengembangkan spiritualitas hidup.
Selanjutnya di bab VI, penulis mengisahkan berbagai pengalaman spiritual yang dialami kawan-kawan transpuan. Sepuluh transpuan dalam buku tersebut, memiliki beragam pengalaman spiritual yang unik saat “bertemu” Tuhan (hlm. 119). Berbagai pengalaman yang dialami diantaranya ada yang melaksanakan umrah dan merasa tenang ketika berada di Masjidil Haram. Ada pula yang merasa tenang ketika membaca Al-Qur’an, ada yang merasa bahagia dengan bersedekah. Ada yang semakin mendekat kepada Tuhan ketika berada di penjara, ada yang memperoleh ketentraman hati ketika salat, ada yang berusaha mendekat Tuhan dengan dia dan perbuatan baik, atau ada yang berupaya menikmati hidup apa adanya (hlm. 120-134). Setiap pengalaman tersebut tentu valid adanya.
Sementara itu di bab VII mengisahkan tentang pengalaman kawan-kawan transpuan dengan penghayatannya masing-masing terkait kehidupan yang dijalani. Misalnya tentang pandangan mereka terhadap pernikahan, bagaimana bermasyarakat, menjadi warga negara tanpa identitas kependudukan, hingga soal takdir, dosa, kematian dan surga-neraka (hlm. 135).
Nah, di bab VIII kita diajak penulis untuk mengenal enam narasumber yang membangun hubungan baru dengan keluarga. Empat diantaranya menyambung komunikasi kembali dengan keluarga mereka karena mereka dulunya kabur dari rumah atau memilih menjauh dari keluarga setelah mengalami penolakan. Lalu kisah dua diantara transpuan yang memiliki pasangan dan membangun rumah tangga. Upaya-upaya yang dilakukan kawan-kawan transpuan tersebut tidak mudah, banyak rintangan yang ditemui. Namun, mereka tetap berjalan maju.
Kemudian di bab IX, penulis mengajak kita untuk lebih memahami pembelajaran dari perjuangan hidup kawan-kawan transpuan. Persoalan hidup kawan-kawan transpuan telah dialami sejak masa anak-anak, ketika ditolak keluarga. Perlakuan keluarga justru memperumit keadaan karena menyalahkan anak dan memaksanya menjadi maskulin. Tidak sedikit yang kemudian lari dari rumah dan memilih hidup di jalanan (hlm. 169-170). Persoalan pun semakin sulit ketika kawan-kawan transpuan lari dari rumah. Mereka tidak membawa surat-surat identitas seperti akta kelahiran, ijazah, dll yang menyebabkan mereka pun tumbuh tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tidak memiliki KTP pun memberikan masalah baru, mereka tidak bisa mengakses kesehatan, jaminan sosial, dll. Belum lagi hidup di jalanan juga rentan mengalami kekerasan. Meski hidup di tengah banyak persoalan, bukan berarti mereka tidak memiliki harapan dan cita-cita. Setiap orang memiliki sebuah harapan agar hidupnya lebih baik di masa depan. Dan melalui buku inilah kawan-kawan transpuan yang menjadi informan buku ini menyampaikan harapan-harapannya terutama ditujukan bagi kawan-kawan transpuan lainnya untuk memperbaiki hidup dalam berkelompok dan bermasyarakat (hlm. 173). Dalam buku ini juga sedikit disinggung tentang permasalahan struktural yang dihadapi kawan-kawan transpuan. Terutama bagi kawan-kawan transpuan yang tidak memiliki KTP. Kemudian permasalahan ketika ada transpuan yang meninggal dan kesulitan untuk memakamkannya.
Tabumania, membaca buku ini kita diajak untuk mengikuti perjalanan setiap narasumber mulai dari masa kecil, remaja, dewasa, dan masa tua. Ada banyak permasalahan dihadapi. Namun, ada banyak suka juga yang ditemui salah satunya ketika memperoleh ketenangan dalam perjalanan spiritualitas mereka.
Bagaimana? Tertarik untuk membaca buku ini? Atau justru sudah membacanya? Bagaimana menurut Tabumania? Tinggalkan komentar ya…

0 comments on “Perjalanan Spiritualitas Transpuan dalam Menemukan Identitas Gender & Makna Hidup”