Buka Layar

Lucky Fish: Sapphic Love & Memprotes Asian Parent dari Kaca Aquarium Restoran Cina

Lucky Fish (tonton di sini) merupakan film pendek garapan sutradara Emily May Jampel, perempuan Asia-Amerika yang berbasis di New York. Diunggah di Youtube pada Maret 2023 oleh Nowness, sebuah kanal video global yang menayangkan hal-hal terbaik dari seni dan kebudayaan. Film coming-of-age berdurasi 8:24 menit. Film  yang diperankan Lukita Maxwell (Maggie) dan Anna Mikami (Celine) ini memiliki plot cerita yang sederhana, hanya berlatar makan malam keluarga di sebuah restoran Cina. Namun sarat pergumulan representasi remaja Asian-American yang relatable (berhubungan)dengan kehidupan queer Asia kebanyakan. Spoiler alert! (peringatan bocoran film).

Maggie sembari menikmati hidangan mencuri-curi pandang perempuan di meja seberang. Namanya Celine, satu-satunya hal yang menarik perhatian Maggie di tengah kebosanan percakapan meja makan antara dia, ibu, tante, dan adik perempuannya. Ibu dan tantenya berputar menyinggung ambisi masa depan, pendaftaran kuliah, pacar laki-laki atau calon jodoh. Topik klasik yang sama sekali tak menarik baginya dengan respon sekenanya seakan tidak ada bahasan lain.

Maggie pergi ke toilet dan berpapasan dengan Celine yang juga sedari tadi menyadari keberadaan Maggie. Celine memulai sapaan dan percakapan kecil. Mereka berkenalan. Celine mengajak Maggie ke lantai atas ketika dia hendak berlalu kembali makan malam.

Di lantai atas terdapat aquarium ukuran sedang berisi ikan-ikan mas koki. Di sini lah klimaks alur cerita terjadi. Perjalanan karakter Maggie dan Celine dibangun secara efektif ke dalam adegan aquarium selama 4 menit rentang menit ke-3 sampai ke-7. Kemudian mereka kembali ke meja makan keluarga masing-masing dan film pun selesai.

Protes terhadap Asian Parentpada Ruang Liminal

Emily May Jampel membagi dialog Maggie dan Celine ke dalam 3 layer: small talk, middle talk, dan deep talk. Dialog adegan aquarium dibuka dengan pertanyaan trivia Maggie soal mengapa restoran Cina selalu terdapat tangki ikan. Omong-omong restoran Cina, Celine bertanya apakah Maggie juga berdarah Cina seperti dirinya lalu dialog beranjak ke layer middle talk seputar latar belakang keluarga dan bahasa sehari-hari yang digunakan. Di tengah kemistri Maggie dan Celine yang bergerak naik, Emily tetap memperhatikan detail bahwa mereka adalah orang asing yang baru saja berkenalan melalui ‘sesi wawancara’ di middle talk ini.

Small talk (percakapan ringan) mengomentari ikan-ikan tersisipi sebagai penyangga antara middle talk (percakapan sedang)dan deep talk (percakapan mendalam) yang menjadi benang merah cerita.

“Kamu deket gak sama keluargamu?” Celine mengajukan pertanyaan mendalam.

“Agak rumit sih buat dijelasin. Aku kayak enggak merasa mereka tu kenal aku. Mereka seolah selalu bikin aku jadi versi yang mereka mau padahal akunya gak mau alih-alih beneran mencoba mengenal siapa aku.”

Celine merasa sangat relate dengan kalimat Maggie seakan mendapat amin dari jemaat satu gereja. Secara tendensius dia berpendapat bahwa, bagaimanapun, asian parent (mayoritas orang tua bangsa Asia) akan tetap kecewa pada anaknya. Selalu ada celah yang bisa diisi kekecewaan sekuat apapun sang anak meraih banyak pencapaian sesuai ekspektasi agar dicintai. Mengejar ilusi kesempurnaan yang membuat eksistensi mereka tidak pernah sekadar cukup. Oleh karena itu, Celine memungkas pandangannya terhadap asian parent ke dalam dua pilihan: menjadi egois dengan memilih jalan hidup yang kita mau, atau menderita dan menyalahkan orang tua karena mengikuti apa yang mereka pilihkan seumur hidup. Dia merasa menjadi egois lebih baik dari pada harus menderita (kendati menjalani hidup yang kita mau juga terdapat penderitaan di dalamnya). Begitu pun dengan Maggie, dia mengamini pilihan Celine.

Alih-alih stereotipe terhadap asian parent, agaknya protes ini ditujukan pada kondisi parenting hirarkis-subordinatif antara anak, orang tua dan keluarga besaryang melanggengkan trauma antar generasi di mana kondisi ini bisa saja terdapat di benua manapun oleh ras apapun. Akan tetapi, sindiran terhadap tipikal asian parentyang otoriter sekaligus melayani, keras sekaligus peduli, cerewet sekaligus komunikator yang buruk perlu diterima saja dengan pikiran adil. Bahkan istilah asian parent sudah menjadi lelucon di sosial media oleh sesama orang Asia itu sendiri sebagai penanda tidak adanya penyangkalan bahwa pola parenting diktatorian lazim terjadi di Asia. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh keberagamaan orang Asia contohnya hirarki keluarga dalam Konfusianisme, kolonialisme, peperangan, krisis dan konflik geopolitik yang memaksa mereka bertahan dalam bentuk komunalisme. Salah satu pilar utamanya adalah militerisasi institusi keluarga yang heteropatriarkal.

Sudut aquarium membingkai tangkapan layar Maggie dan Celine. Bingkai ini melambangkan ruang liminal (perbatasan) keduanya yang sama-sama tengah berada pada ambang masa remaja dan dunia dewasa. Di tengah ketidakpastian, orang tua dan keluarga bertindak sebagai si paling paham yang terbaik memilihkan alur hidup ‘gampang’ dan terprediksi: lahir-sekolah-bekerja-menikah-bereproduksi dengan mengikuti peran sebagai anak perempuan, istri dan ibu yang normatif. Bias pendar cahaya yang memantulkan bayangan ikan di kaca aquarium menggambarkan jalan hidup di luar apa yang dikondisikan masyarakat samar-samar mewujud di hadapan mereka.

Sapphic Love – Queer Si Pengacak-acak Keajegan

Sapphic adalah payung istilah perempuan (termasuk transpuan dan trans non-biner yang diidentifikasi sebagai perempuan ketika lahir) yang memiliki ketertarikan romantik dengan perempuan. Terlepas ekspresi gender dan orientasi seksualnya yang bisa jadi homoseksual, biseksual, panseksual, demiseksual bahkan aseksual. Sapphic diambil dari nama Sappho, penyair perempuan Yunani penggubah puisi-puisi homoerotik yang mengekspresikan kekagumannya kepada perempuan dan dewi-dewi. Oleh karenanya budaya sapphic erat dengan karya seni dan literatur homoromantik perempuan termasuk nuansa romantis Maggie dan Celine dalam Lucky Fish.

Emily berhasil membawa penonton menangkap karakter Maggie dan Celine dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kamera menyorot fullbody dari tampak belakang pada saatMaggie dan Celine menyusuri lorong menuju lantai atas. Di situ kita bisa melihat secara gamblang ekspresi gender keduanya dari pemilihan pakaian, gaya rambut hingga cara berjalan. Maggie cenderung androgin sedangkan Celine lebih feminin. Maggie yang awkward (canggung) dan tidak pandai poker face dapat kontras-serasi dengan Celine yang ekspresi wajahnya subtil namun blak-blakandalam memulai percakapan dan pergerakan. Keaktoran Lukita Maxwell dan Anna Mikami sangat berbakat dalam mencipta karakter melalui kekikukan dan kepolosan khas dua remaja yang sedang naksir satu sama lain.

Gradasi pewarnaan berubah drastis dari terang-benderang di ruang utama restoran, kemudian meredup di toilet saat percakapan antara mereka bermula sampai akhirnya mereka di lantai atas dengan pencahayaan minim dari lampu aquarium. Pewarnaan menegaskan kesan intimasi minimalis dan skoring musik meditatif mendukung ketenangan yang diperlukan dalam menilik ke dalam diri masing-masing. Kecupan bibir Maggie dan Celine di akhir dialog menjadi highlight scene yang diperlukan untuk memotret cinta queer dalam film ini.

Sebagai queer, bukan saja melegakan dapat bertemu seseorang dengan perasaan mutual dan bersambut melainkan pula meliberasi hal yang lebih besar dari apa yang mereka rasakan: mengubah trajectory (lintasan) hidup. Peran gender submisif anak perempuan, istri dan ibu dalam pernikahan heteronormatif menjadi teracak-acak oleh transendensi cinta yang melewati sekat gender dan seksualitas di atas kesetaraan resiprokal (mutual dan saling memberi-menerima satu sama lain). Alur hidup kuliah-bekerja-menikah membina keluarga batih (ayah-ibu-anak-anak) guna meneruskan harta dan ‘nilai’ (baca: trauma) yang ditanamkan turun-temurun terobrak-abrik oleh cinta yang berontak dan meliak-liuk terus menerus menantang keajegan.

Mereka tidak tahu pasti tantangan apa yang menghadang dari keluarga yang memproyeksikan setiap anggotanya menikah dengan lawan jenis* *(dengan kriteria, syarat & ketentuan berlaku). Tanpa atau dengan orang tua mengetahui cerita cinta mereka, atau membuka ruang aman untuk mereka bercerita, mereka tahu mereka harus berjuang agar dapat mencintai orang yang ingin mereka cintai di tengah tipikal asian parent.

Film ditutup dengan skoring musik optimistik dan penuh gejolak kombatif menyiratkan kisah Maggie dan Celine di masa depan akan tidak mudah. Namun layak untuk diperjuangkan melihat kesan kebahagiaan bertaut sejak pertemuan pertama.

Dengan produksi film pendek yang digarap seciamik ini, kita sangat menanti Emily May Jampel merilis film respektif tentang kelanjutan cerita Maggie dan Celine. Semoga!

Artikel ditulis oleh Nanda Tsani

Nanda Tsani (she/her) adalah  seorang antusias keaktoran, seniman (lukis, puisi), pekerja sosial, dan mahasiswa magister Agama & Lintas Budaya UGM Yogyakarta. Dia bagian dari penggerak IQAMAH (Indonesian Queer Muslims & Allies). Portofolio lebih lanjut follow instagram @nandaberkesenian.

Unknown's avatar

Portal pengetahuan dan layanan tentang seksualitas berbasis queer dan feminisme. Qbukatabu diinisiasi oleh 3 queer di Indonesia di bulan Maret 2017. Harapannya, Qbukatabu bisa menjadi sumber rujukan pengetahuan praktis dan layanan konseling yang ramah berbasis queer dan feminisme; dan dinikmati semua orang dan secara khusus perempuan, transgender, interseks, dan identitas non-biner lainnya.

0 comments on “Lucky Fish: Sapphic Love & Memprotes Asian Parent dari Kaca Aquarium Restoran Cina

Leave a comment